Secara umum, batik Cirebon termasuk kedalam kelompok batik
pesisiran. Tetapi juga bisa termasuk “Kraton” (Istana) kelompok batik,
karena Cirebon memiliki dua istana, Istana Kasepuhan dan Kanoman
Palace. Berdasarkan sejarah kedua istana, sejumlah desain batik
Cirebonan Klasik yang dilakukan oleh beberapa desa Trusmi sampai hari
ini (motif seperti Mega Mendung, Paksinaga Liman, Patran Keris, Patran
Kangkung, Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, Sawat
penganten, Katewono, Gunung Giwur, Simbar Menjangan, Simbar Kendo, dll).
Karakteristik yang dimiliki oleh batik Cirebon biasanya termasuk motif
wadasan (batu), ada unsur dekorasi, bentuk awan di bagian disesuaikan
dengan motif utama, warna lebih muda di latar belakang dibandingkan
dengan warna garis pada motif utama dan biasanya muncul bersih
daripada noda-noda hitam atau warna yang tidak digunakan dalam proses
manufaktur, yang disebabkan oleh penggunaan lilin batik-line
rusak. Warna dominan adalah biasanya kuning (Sogan scrub), warna dasar,
hitam dan krim, atau gelap merah, biru tua, kain hitam dengan warna
dasar krem atau putih gading. Beberapa kain latar belakang cenderung
dibiarkan kosong tanpa diisi dengan ornament.
Lukisan
Lukisan di atas adalah karya pelukis legendaris Indonesia, Raden Saleh
Sjarief Bustaman, yang berjudul"DIE LOWENJAGD" tahun 1840. Pada tanggal
18Nopember 2005 di Cologne (Jerman) lukisan tersebut laku terjual
805.000,- Euro (atau sekitar 11,77 milyar rupiah).
Beburu banteng
Masa Perintisan
Raden Saleh memang perintis seni lukis modern yang kesepian. Lahir
dari rahim seorang ibu bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, Raden Saleh
sejak kecil telah menampakkan bakat melukis yang kuat. Saat itu dia
tinggal di daerah Terbaya, dekat Semarang dan sejak usia 10 tahun, dia
diserahkan pamannya, Bupati Semarang, pada orang-orang Belanda atasannya
di Batavia.
Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah
rakyat (Volks-School). Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke
lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda.
Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor
sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa
dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di
departemennya.
Kebetulan pula di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J
Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di
Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda.
Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan lantas berinisiatif memberikan
bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda,
namun mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup
membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik
pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak
pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model
pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar
tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan
agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh
Gubernur Jenderal Van Der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826)
setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran
Diponegoro oleh Jenderal de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke
Belanda.
Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang
pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama
perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan
Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa,Bahasa
Jawa dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.
Penguasaan teknik seni lukis masa akhir Renaissance Eropa yang
bercorak realistis-naturalistis dengan jiwa romantis itu dilanjutkan
oleh generasi pelukis Indonesia sepeninggal Raden Saleh. Ciri khasnya
adalah lebih banyak mengambil tema kehidupan kaum bangsawan dan
kehidupan binatang. Kepiawaian teknik, bentuk, karakter, terang gelap
dan seterusnya, yang diterapkan dalam karya seni lukis tersebut, menjadi
perhatian bagi pelukis-pelukis lain di Indonesia.
Yang menarik, ada masa kekosongan yang cukup lama sejak wafatnya
Raden Saleh pada 23 April 1880 di Bogor. Dia memang tak mempunyai murid
atau kawan yang mampu meneruskan bakat melukisnya. Yang tertinggal ada
hasil karyanya. Diantaranya yang masih utuh adalah lukisan berjudul :
Seorang tua dan Bola Dunia (1835), Berburu Banteng (1851), Bupati
Majalengka (1852), Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857), Harimau Minum
(1863) dan Perkelahian dengan Singa (1870).
Masa Perintisan
Raden Saleh memang perintis seni lukis modern yang kesepian. Lahir
dari rahim seorang ibu bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, Raden Saleh
sejak kecil telah menampakkan bakat melukis yang kuat. Saat itu dia
tinggal di daerah Terbaya, dekat Semarang dan sejak usia 10 tahun, dia
diserahkan pamannya, Bupati Semarang, pada orang-orang Belanda atasannya
di Batavia.
Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah
rakyat (Volks-School). Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke
lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda.
Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor
sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa
dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di
departemennya.
Kebetulan pula di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J
Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di
Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda.
Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan lantas berinisiatif memberikan
bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda,
namun mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup
membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik
pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak
pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model
pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar
tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan
agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh
Gubernur Jenderal Van Der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826)
setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran
Diponegoro oleh Jenderal de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke
Belanda.
Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang
pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama
perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan
Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa,Bahasa
Jawa dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.
Penguasaan teknik seni lukis masa akhir Renaissance Eropa yang
bercorak realistis-naturalistis dengan jiwa romantis itu dilanjutkan
oleh generasi pelukis Indonesia sepeninggal Raden Saleh. Ciri khasnya
adalah lebih banyak mengambil tema kehidupan kaum bangsawan dan
kehidupan binatang. Kepiawaian teknik, bentuk, karakter, terang gelap
dan seterusnya, yang diterapkan dalam karya seni lukis tersebut, menjadi
perhatian bagi pelukis-pelukis lain di Indonesia.
Yang menarik, ada masa kekosongan yang cukup lama sejak wafatnya
Raden Saleh pada 23 April 1880 di Bogor. Dia memang tak mempunyai murid
atau kawan yang mampu meneruskan bakat melukisnya. Yang tertinggal ada
hasil karyanya. Diantaranya yang masih utuh adalah lukisan berjudul :
Seorang tua dan Bola Dunia (1835), Berburu Banteng (1851), Bupati
Majalengka (1852), Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857), Harimau Minum
(1863) dan Perkelahian dengan Singa (1870).